Kisah Imam Hanafi
A .Imam Hanafi
Imam Hanafi atau dikenal juga dengan Imam Abu Hanifah. Nama lengkap beliau adalah Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha Al-Kufi. Beliau lahir di kota Anbar, bagian dari provinsi Kufah, Iraq tahun 699 M/80 H. Beliau masih memiliki darah persia dari Ayahnya dan kakeknya, yaitu dari kota Kabul, Afganistan yang sebelumnya masuk bagian wilayah Persia. Ketika beliau masih dalam kandungan, ayahnya memboyong keluarga mereka ke Kufah dan menetap di sana hingga Abu Hanifah lahir. Konon kisahnya, pada masa Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah, Ayah Imam Hanafi, bersama kakeknya pernah berkunjung kepada Ali ibn Abi Thalib, dan mendapatkan doa dari sang Khalifah agar kelak bisa mendapatkan keturunan yang luhur dan mulia.
Abu Hanifah tumbuh besar dan menimba ilmu di kota Kufah. Beliau juga pernah melakukan pengembaraan hingga ke Basrah, Makkah dan Madinah untuk menimba ilmu dan mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan keislamannya. Beberapa ulama besar yang pernah menjadi guru Abu Hanifah antara lain Hammad ibn Abu Sulaiman Al-Asy’ari (120 H/738 M) seorang ulama di kota Kufah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah (114 H/732 M) ulama di kota Makkah, ‘Ikrimah (104 H/723 M) ulama pewaris ilmu Abdullah ibn Abbas, Nafi’ (117 H/735 M) ulama pewaris ilmu Abdullah ibn Umar dan lain-lain. Beliau juga belajar kepada para ulama Ahlul-Bait seperti Zaid ibn Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir (57-114 H/676-732 M), Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) dan Abdullah ibn Al-Hasan. Tidak ketinggalan beberapa sahabat nabi seperti Anas ibn Malik (10 SH-93 H/612-712 M), Abdullah ibn Abi Aufa (85 H/704 M) di Kufah, Sahal ibn Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/614-697 M) di Madinah dan Abu Al-Thufail Amir ibn Watsilah (110 H/729 M) di kota Makkah pernah beliau kunjungi dan menimba ilmu dari mereka.
Semua itu menjadikan Imam Hanafi menjadi salah seorang ulama besar dan tabi’in yang menjadi panutan bahkan rujukan umat islam. Imam Hanafi merupakan tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan pengelompokan-pengelompokan seperti bab kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Imam Bukhari.
Imam Hanafi hidup sejak zaman kekhalifahan Bani Umayyah hingga kekhalifaan Bani Abassiyah
Beliau terkenal sebagai seorang ahli ilmu Fikih dan Tauhid. Wafat dalam penjara pada tahun 150 Hijriah dalam usia 70 tahun, Imam Abu Hanifah dikebumikan di pemakaman Al-Khaizaran, yang terletak di timur Kota Baghdad, Iraq.
Beliau terkenal sebagai seorang ahli ilmu Fikih dan Tauhid. Wafat dalam penjara pada tahun 150 Hijriah dalam usia 70 tahun, Imam Abu Hanifah dikebumikan di pemakaman Al-Khaizaran, yang terletak di timur Kota Baghdad, Iraq.
KISAH HIKMAH IMAM HANAFI DAN TEROMPAH KAYU
Pada suatu ketika Imam Hanafi sedang berjalan dan menemui seorang anak kecil miskin yang sedang berjalan dengan menggunakan terompah kayu (sepatu yang terbuat dari kayu).
Sambil melihat anak kecil itu sang Imam besar berujar, ”Hati-hati, Nak, dengan sepatu kayumu itu. Jangan sampai engkau tergelincir,”. Sang bocahpun kecil miskin tersebut tersenyum, sambil mengucapkan terima kasih. Setelah itu sang bocah kecil tersebut bertanya kepada Imam Hanafi, “Maaf Tuan, Bolehkah saya tahu namamu?”
”Nu’man,” jawab Imam Hanafi.
”Oh, jadi Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar Al-Imam Al-A‘dham (imam agung) itu?” jawab bocah kecil itu bertanya kembali kepada Imam Abu,Hanifah.
”Bukan aku yang menyematkan gelar itu Nak, melainkan masyarakatlah yang berprasangka baik dan menyematkan gelar itu kepadaku,” Jawab Imam Hanafi.
“Wahai sang Imam, hati-hati dengan gelarmu itu. Jangan sampai Tuan tergelincir ke neraka Allah gara-gara dia. Terompah kayu ku ini mungkin hanya akan menggelincirkanku di dunia ini semata. Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke kubangan api neraka yang kekal selama-lamanya, jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya,” ujar sang bocah kecil yang memakai terompah kayu tersebut.
Mendengar jawaban anak kecil itu, Imam Hanafi pun tertegun sejenak lalu kemudian menangis. Beliau merasa bersyukur bahwa masih ada yang mengingatkannya. Bahkan tidak disangka-sangka peringatan itu datang dari lidah seorang anak kecil yang masih polos. Beliau tidak memarahi bocah kecil tersebut bahkan dengan kerendahan hatinya mengucapkan terimakasih dan bersyukur atas peristiwa di hari itu.
Sahabat Quran yang sama-sama mencari ridho Allah SWT, secuplik kisah dari kehidupan Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah itu memberikan hikmah dan pelajaran penting buat kita. Bagaimana seseorang dengan begitu banyak ilmu yang dimiliki dan kemuliaan disisi manusia tidaklah membuatnya menjadi sombong dan tinggi hati. Ucapan kebenaran yang datangnya dari siapapun, bahkan hanya dari seorang anak kecil yang mungkin dalam pandangan manusia tidak ada apa-apanya, mampu mencapai qolbu seorang Imam Besar yang dihormati dan disanjung-sanjung oleh manusia. Kebersihan hati yang didasari atas kecintaan pada sang Khalik lah, yang mampu membuat qolbunya menjadi sebening mata air pegunungan yang masih murni tanpa dicemari beragam sampah dan kotoran.
Peringatan yang disampaikan anak kecil itu tidak membuat sang Imam Besar gusar ataupun marah, bahkan malah membuatnya menangis, memohon ampun dan bersyukur kepada Allah SWT atas peristiwa tersebut. Beliau sadar, bahwa ilmu, kedudukan tinggi dan gelar yang disandangnya hanyalah amanah dan cobaan, yang kelak harus dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT. Semakin tinggi ilmu dan jabatan seseorang maka godaan syaitan yang mengiringinya pun akan semakin dahsyat. Rasa sombong, ujub, merasa paling pintar, paling berkuasa, dan lain sebagainya penyakit hati, mudah sekali menjerumuskannya dalam lembah kenistaan di mata Allah SWT. Oleh karenanya beliau sangat bersyukur bahwa masih ada orang yang mau memberinya peringatan akan cobaan dan amanah yang sedang disandangnya tersebut.
Demikianlah sahabat Quran yang dimuliakan Allah, semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari secuplik kisah kehidupan seorang tabi’in Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah diatas. Insya Allah dengan mempelajari dan mengambil berbagai hikmah dari kehidupan orang-orang besar yang mulia ini, dapat membuka mata hati kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi sesuai yang diajarkan oleh Allah SWT, melalui Rasul kita Nabi Besar Muhammad, SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar